SETIAP TAHUN tema Hari Kesehatan Nasional berganti. Poster dan slogan digelar meriah. Namun setelah spanduk diturunkan, pertanyaan mendasarnya tetap menggema: apakah sistem kesehatan kita benar-benar berubah?
HKN ke-61 tahun 2025 dengan tema “Generasi Sehat, Masa Depan Hebat” menuntut lebih dari sekadar kampanye gaya hidup. Ia menuntut sistem yang tangguh yang bisa mencegah penyakit sebelum lahir, mengobati tanpa diskriminasi, dan memulihkan tanpa birokrasi.
Transformasi digital lewat SATUSEHAT, reformasi layanan primer, hingga penataan tenaga medis hanyalah fondasi awal. Tantangan sebenarnya adalah membangun budaya kesehatan yang berkelanjutan, di mana rumah tangga menjadi benteng pertama, bukan rumah sakit. Karena bangsa yang ingin unggul, tak cukup berteriak sehat, ia harus menata sistem yang membuat kesehatan menjadi kenyataan.
Enam puluh enam tahun lalu, Presiden Soekarno berdiri di Kalasan, Yogyakarta, memegang alat semprot DDT dan menyatakan perang terhadap malaria. Dari sinilah akar Hari Kesehatan Nasional (HKN) tumbuh—sebuah peristiwa yang menandai lahirnya kesadaran kolektif: bahwa kesehatan bukan urusan individu, melainkan urusan bangsa.
Kini, pada 12 November 2025, HKN ke-61 hadir dengan tema “Generasi Sehat, Masa Depan Hebat.” Tema ini tak hanya materi seremoni. Ia adalah pengingat bahwa masa depan Indonesia Emas 2045 hanya mungkin bila generasi mudanya sehat secara fisik, mental, dan sosial.
Jika pada 1959 bangsa ini melawan malaria, maka hari ini kita melawan sesuatu yang lebih kompleks: gaya hidup tidak sehat, penyakit tidak menular, dan kesenjangan akses layanan. Bedanya, medan tempur kini digital.
Kementerian Kesehatan mendorong transformasi lewat SATUSEHAT, platform integrasi rekam medis elektronik nasional. Hingga akhir Oktober 2025, lebih dari 34 ribu fasilitas kesehatan telah tersambung. Namun, sebagaimana diingatkan banyak pakar, teknologi hanyalah alat yang menentukan tetap manusianya.
“Digitalisasi bukan sekadar go paperless, tapi bagaimana data yang terkumpul bisa menyelamatkan lebih banyak nyawa,” ujar seorang pejabat Kemenkes dalam sebuah wawancara terbatas.


.gif)